Rabu, 19 Juli 2017

Ini Lho 5 Isu Krusial RUU Peyelenggaraan Pemilu

Agen Bandar Kiu Online - Rapat Paripurna DPR RI Ke-32 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2016-2017 mengagendakan Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan Terhadap RUU Penyelenggaraan Pemilu yang digelar ini hari, Kamis (20/7) masih menyisakan lima isu krusial yang belum juga diketok hingga pengambilan keputusan tingkat I antara Pansus RUU Pemilu dengan pemerintah Kamis (13/7).

Alhasil kelima isu krusial ini kemudian sempat membuat DPR kabarnya ‘terbelah’ lantaran isu ini terkait strategi pemenangan parpol jelang Pilkada Serentak tahun 2018, dan utamanya di Pemilu tahun 2019.

Adapun kelima isu krusial di RUU Penyelenggaraan Pemilu yakni ambang batas presidential atau presidential threshold, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, dan alokasi kursi anggota DPR perdaerah pemilihan (dapil), metode konversi suara pemilu legislatif, dan sistem pemilu.

Presidential thresholdlah kemudian menjadi isu yang sengit diperdebatkan di parlemen karena dinilai sangat berperan dalam memunculkan capres yang bakal maju bertarung pada Pemilu 2019.

Ini dia rncian kelima isu krusial tersebut :
1. Presidential Threshold

Presidential threshold dianggap sebagai isu krusial di DPR oleh parpol yang duduk dikursi dewan, selain itu pemerintah juga dinilai memiliki kepentingan, hal ini menyangkut soal angka yang diusulkan. Presidential threshold disini yanki ambang batas untuk pengajuan presiden atau wakil presiden.

Pemilu 2014, telah diputuskan perlunya 20 persen jumlah kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional bagi capres/cawapres yang bakal maju bertarung dan dengan dukungan parpol atau parpol gabungan.

Tepai kemudian keluar keputusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa Pemilu (Pileg dan Pilpres) dilaksanakan serentak pada tahun 2019. Tetapi pada keputusan tersebut, tidak dijelaskan berapa presidential threshold yang seharusnya.

Nah disini kemudian memicu polemik, ada yang menilai tidak perlu lagi adanya presidential threshold (nol persen), atau ada juga yang menilai hal tersebut masih diperlukan.

Di Parlemen sendiri kemudian terbentuk tiga kubu presidential threshold. Dimana nol persen (Gerindra, Demokrat, PAN), 10-15 persen (PKB dan Hanura), dan 20-25 persen (PDIP, Golkar,NasDem, PKS, dan PPP).

Tetapi kini diprediksi cuma tinggal PAN dan PKB yang masih dapat diajak berkompromi soal angka presidential threshold. Sementara Hanura condong ke 20-25 persen.

2. Parliamentary Threshold

Sesaui dengan Pasal 208 UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPRD, dan DPD disebutkan jika parpol harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 3,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional dalam menentukan kursi di DPR.

Nah Soal angka parliamentary threshold, awalnya sempat memicu perdebatan sengit di mana ada parpol yang ingin dinaikkan hingga ke angka 7 persen.

Tetapi kini peta berubah parliamentary threshold berkisar 3,5 persen sampai 5 persen saja. Sikap pemerintah sendiri menginginkan angka tersebut dinaikkan. Begitu juga dengan parpol lain, walau angka tersebut tidak naik secara signifikan.

Pada Pemilu tahun 2014 lalu, PBB dan PKPI tidak lolos ke SEnayan lantaran peraihan suara nasional di bawah 3,5 persen. Jika angka tersebut dinaikkan, parpol kecil dan parpol baru seperti Perindo, PSI, atau Partai Idaman harus kembali menyusun strategi kembali.

3. Alokasi Kursi Per Dapil

Alokasi kursi per dapil adalah rentang jumlah kursi anggota DPR pada setiap daerah pemilihan. Sekarang ini, DPR dan pemerintah telah sepakat ada 575 daerah pemilihan atau bertambah 15 kursi dari Pemilu sebelumnya.

Sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 8/2012 dikatakan jumlah kursi di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Dan , mayoritas fraksi sudah sepakat jika pembagian kursi per dapil yaitu tetap dalam rentang 3-10 kursi.

Sementara masih ada sebagian kecil fraksi yang ingin diturunkan menjadi 3-8 kursi per dapil.

4. Metode Konversi Suara

Metode konversi suara juga termasuk salah satu isu krusial RUU Pemilu, meski jarang terdengar diperdebatkan dengan alasan, metode yang berbeda mempengaruhi jumlah kursi setiap parpol yang lolos ke DPR. Saat ini metode suara yang belum diputuskan yaitu kuota hare dan sainte lague murni.

Kuota Hare sendiri diusulkan oleh Gerindra, Demokrat, PKB, NasDem, PAN, Hanura, PKS. Sedangkan sainte lague murni condong ke PDIP, Golkar, PPP.

Kuota Hare adalah salah satu teknik penghitungan suara yang sudah tidak asing di Indonesia karena metode ini paling sering digunakan dari pemilu ke pemilu.

Ada dua tahapan yang perlu dilewati untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui teknik penghitungan Kuota.

Hare. Pertama, yakni menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus V (vote) per S (seat).

Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu dapil dibagi dengan hasil hitung harga satu kursi.

Sementara metode sainte lague memberlakukan bilangan pembagi suara berangka ganjil seperti, 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Metode sainte lague ini dalam melakukan penghitungan suara ini bersifat proporsional yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun partai besar.

5. Sistem Pemilu

Soal sistem Pemilu, sendiri terbagi menjadi dua, yakni proporsional terbuka, proporsional tertutup, atau gabungan keduanya. Sistem proporsional terbuka adalah memilih anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak.

Artinya, siapa yang punya suara terbanyak pada pemilu, merekalah yang kemudian terpilih menjadi anggota legislatif. Sistem ini dianggap lebih menguntungkan figur yang sudah memiliki nama yang bertarung di Pileg.

Sementara, sistem proporsional tertutup yakni sebaliknya. Sistem itu sesuai dengan nomor urut. Nomor urut paling atas (misal 1 atau 2) yang berpeluang lolos menjadi anggota DPR. Penentuan nomor urut dilakukan oleh parpol. Sedangkan, pemerintah sempat mengusulkan gabungan dari keduanya. Agen Betting Online

0 komentar:

Posting Komentar